هزّات الأسواق المالية أسبابه وحكم الشرع فى هذه الأسباب
Pada minggu terakhir Oktober 1997 lalu, harga-harga saham di pasar-pasar modal (bursa efek) utama telah jatuh secara drastis. Fenomena ini bermula dari Hongkong, lalu merembet ke Jepang, terus ke Eropa, dan akhirnya sampai ke Amerika. Anjloknya harga saham tersebut terjadi secara ber- turutan dari satu negeri ke negeri lain, mengikuti letak terbitnya matahari di masing-masing negeri tersebut.
Krisis tersebut disertai satu trauma di tengah masyarakat, bahwa apa yang terjadi merupakan ulangan dari peristiwa seru- pa pada Oktober 1987, tatkala indeks harga saham di New York turun 22 % dalam sehari. Atau sebagai ulangan dari peris- tiwa yang lebih gawat lagi, yang terjadi pada tahun 1929 ketika jatuhnya nilai saham di Amerika telah menimbulkan depresi ekonomi yang sangat parah. Buku-buku sejarah senantiasa menyebut peristiwa itu sebagai “Depresi Besar” (The Great Depression) yang telah menyebabkan terus berlanjutnya keme- laratan, kelaparan, dan kesengsaraan. Krisis ini tidak teratasi, kecuali setelah keluarnya keputusan Presiden Roosevelt untuk menerjunkan Amerika ke dalam kancah Perang Dunia II dan membangkitkan perekonomian Amerika dengan cara mempro- duksi kebutuhan-kebutuhan perang yang sangat besar.
Krisis yang belakangan ini melanda Eropa dan Amerika tersebut, didahului beberapa peristiwa yang terjadi sepanjang musim kemarau ini, yaitu jatuhnya nilai tukar (kurs) mata uang di negara-negara Asia Tenggara, anjloknya harga saham peru- sahaan-perusahaannya, serta sekaratnya bank-bank dan perusa- haan-perusahaannya. Krisis-krisis ini bertolak dari Thailand, lalu ke Filipina, Malaysia, dan Indonesia, kemudian menular bagaikan wabah ke Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara Asia Utara. Wabah menular ini pada akhir Oktober 1997 telah melanda Hongkong, yang merupakan basis investasi Barat yang besar di kawasan Asia. Pada saat itulah, pasar-pasar modal di Barat sadar bahwa wabah yang melanda ternyata sangat berbahaya. Maka terjadilah berbagai krisis di pasar- pasar modal Eropa dan Amerika, terutama New York.
Dua krisis tersebut —di Asia dan di Barat— disebabkan adanya sifat-sifat khas yang melekat pada sistem ekonomi kapitalis itu sendiri, meskipun kedua krisis tersebut tidak dapat dikatakan sama persis dan tidak dapat pula dinilai dengan tolok ukur yang sama.
Pasar-pasar modal di Asia Tenggara sesungguhnya sangat lemah dan rapuh. Orang-orang yang memperdagangkan sahamnya di sana hanya beberapa gelintir saja dan boleh di- katakan belum berpengalaman. Yang banyak memanfaatkan pasar-pasar modal itu justru para penguasanya yang korup, seperti penguasa Thailand dan Indonesia. Para penguasa inilah yang terus mempromosikan pasar-pasar modal tersebut, serta mengizinkan para investor Barat untuk berdagang saham di sana dan memantapkan posisinya dengan cepat di pasar-pasar modal yang ada.
Sebenarnya, Amerikalah yang telah mendorong para penguasa itu —dan juga banyak penguasa di negara lain— untuk mengambil kebijakan tersebut. Tujuannya, agar penguasa terse- but membuka pasar-pasar modal mereka dengan mengikuti pola Barat, sehingga terbukalah kesempatan kepada para inves- tor Barat untuk berdagang saham di pasar modal dan mema- sukkan atau menarik modalnya ke/dari negeri-negeri tersebut dengan mudah kapan saja mereka suka. Amerika berdalih, semua ini akan dapat menggalakkan penanaman modal asing di negeri-negeri tersebut, di samping merupakan salah satu tuntu- tan globalisasi ekonomi masa kini.
Tetapi, investasi yang ada sebenarnya bukanlah investasi riil dari Barat di negeri-negeri lain, meskipun memang disebut sebagai “investasi tak langsung”. Sebab, investasi yang riil adalah seperti yang pernah dilakukan Amerika pasca Perang Dunia II, tatkala mereka menguasasi banyak pabrik dan perusa- haan baik di Eropa maupun di negeri-negeri lain, lalu menge- lolanya secara langsung dan menggabungkannya dengan peru- sahaan-perusahaan induk mereka di Amerika. Inilah investasi yang langsung dan riil itu.
Sedang investasi tak langsung, ditempuh dengan cara membeli sejumlah saham perusahaan-perusahaan lokal yang dikelola oleh negara atau oleh pemiliknya yang usahanya ber- skala lokal. Sebagian dari saham perusahaan tersebut beredar di pasar modal lokal. Para investor lalu membeli saham-saham tersebut di pasar modal yang ada. Namun mereka tidak ber- tujuan untuk memiliki atau mengelola perusahaan, dan tidak pula bertujuan untuk ikut memperoleh laba perusahaan dengan menunggu dividen yang dibagikan pertahun. Tujuan mereka adalah memperoleh laba (capital gain) yang besar secara cepat, karena adanya lonjakan harga-harga saham yang telah mereka beli.
Para investor itu merekayasa pasar modal sedemikian rupa untuk tujuan mereka tersebut, dengan cara mempenga- ruhi harga-harga saham di negara-negara yang disebut negara- negara berkembang. Pasar-pasar modal di negara-negara ber- kembang ini kecil saja, sehingga merekayasa harga-harga sahamnya adalah hal yang mudah bagi para investor asing itu. Sementara orang-orang lokal yang berdagang saham di pasar modal tersebut juga sedikit, yang dapat ditaklukkan oleh iming- iming harta benda, trik-trik pasar, serta gertakan-gertakan yang dilakukan oleh para investor Barat.
Ketika investor Barat datang —yang umumnya mempu- nyai dana investasi ratusan juta bahkan ratusan milyar US dolar, yang berasal dari modal pengusaha raksasa Barat atau pinjaman dari bank— lalu membeli saham lokal, maka dia tidak akan menunggu begitu saja naiknya harga saham sebagaimana lazimnya seorang penonton. Dia akan menggunakan berbagai trik yang sengaja direkayasanya untuk melariskan saham yang dibelinya. Misalnya dengan membocorkan berita ke media massa bahwa dia telah menginvestasikan modalnya yang besar pada saham tertentu, atau bahwa studi yang dilakukannya memprediksikan bahwa perusahaan tempat dia membeli saham mempunyai masa depan yang cerah, dan trik-trik lainnya yang tidak disadari hakikatnya oleh orang-orang Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Akibatnya, penduduk di negeri-negeri itu ber-lomba-lomba membeli saham tersebut, sehingga harga saham pun cepat atau lambat akan melonjak. Dan investor Barat yang telah menginvestasikan modalnya itu umumnya tidak perlu menunggu terlalu lama. Harga-harga saham pun segera melon- jak menurut prediksi yang dibuatnya, kemudian dia menjual saham-sahamnya kepada penduduk negeri-negeri tersebut di pasar modal setempat, atau pasar modal internasional. Dia lalu mengambil modal pokoknya berikut laba yang diperolehnya dengan kilat, untuk kemudian mencari saham-saham perusaha- an lain, baik di negeri yang sama maupun di negeri lainnya. Semua ini berlangsung sebelum penduduk negeri-negeri ter- sebut sadar akan apa yang telah terjadi dan menimpa mereka.
Kadang-kadang beberapa investor Barat beraksi seakan- akan sebagai satu grup, sebab target dan aktivitas mereka memang serupa. Oleh karena itu, kadang-kadang terjadi keme- rosotan harga yang merata di pasar modal ketika para investor menarik modalnya dari pasar sekaligus. Akibatnya, jatuhlah nilai mata uang negeri setempat, dan terancamlah bank-bank lokal yang meminjamkan modalnya untuk diikutsertakan dalam pasar modal.
Itulah investasi tak langsung yang senantiasa dipropa- gandakan oleh Amerika dan dipaksakannya atas “negara- negara berkembang” setelah Uni Soviet runtuh, sehingga Amerika menjadi satu-satunya kekuatan yang dapat memaksa- kan hegemoninya dalam kancah politik dan ekonomi inter- nasional.
Fakta investasi ini —yang ternyata menjadi lebih besar dan lebih berbahaya daripada investasi langsung— sesungguh- nya adalah perampasan terhadap harta kekayaan dan sumber perekonomian negara-negara dunia ketiga. Investasi tersebut juga merupakan sebab utama dari krisis moneter dan krisis ekonomi yang menjadi konsekuensinya, serta telah memelarat- kan penduduk negara dunia ketiga secara hina, baik di Amerika Latin seperti Meksiko, Brazil, Argentina, maupun di Timur Tengah seperti Mesir dan Yordania. Dan investasi itu pulalah yang menjadi sebab munculnya krisis yang telah dan sedang terjadi di pasar-pasar modal di Asia Tenggara, seperti Indo- nesia dan Malaysia.
Adapun pasar-pasar modal di Eropa dan Amerika, sangatlah berbeda dengan pasar-pasar modal di negara-negara berkembang tadi. Pasar-pasar modal di sana sudah sangat mengakar dan telah eksis selama dua abad atau lebih. Mereka yang berdagang saham pada sebagian pasar modal jumlahnya mencapai ratusan ribu orang, sedang pada pasar modal terbesar —yakni di London dan New York— mencapai jutaan orang. Modal yang diinvestasikan dalam saham-saham dan surat-surat berharga jumlahnya pun sangat besar. Ada yang menyebutkan bahwa jumlahnya melebihi nilai riil dari aset (kekayaan) yang ada di Eropa dan Amerika, seperti aset yang berbentuk tanah, toko, pabrik, dan berbagai komoditas perdagangan. Dikatakan pula bahwa aktivitas pasar modal dan surat berharga —yaitu nilai barang-barang yang dibeli dan dijual dari pasar modal itu— melebihi nilai riil seluruh barang dan jasa yang ada. Ini berarti, bahwa faktor banyaknya pedagang saham di pasar-pasar modal itu, cukupnya modal mereka, dan kerasnya kompetisi di antara mereka, telah menghalangi siapa pun dari mereka untuk men- dominasi pasar —atau bagian tertentu dari pasar— secara tunggal guna mencari keuntungan dengan cepat dari para investor lain- nya yang mempunyai modal besar.
Meskipun demikian, ternyata banyak juga pedagang saham di pasar-pasar modal tersebut yang berhasil meraup ke- untungan yang sangat besar dari pasar-pasar tersebut, dan menghabiskan waktunya untuk memperdagangkan saham di sana. Mereka telah menemukan berbagai strategi, taktik, dan transaksi yang mengikat, guna mempengaruhi waktu penjualan atau pembelian saham termasuk harga-harganya. Padahal cara- cara itu tidak berhubungan langsung dengan kegiatan perusaha- an yang memperjualbelikan sahamnya. Tidak berkaitan pula dengan pasar yang menyediakan barang dan jasa atau dengan penetapan labanya. Berbagai strategi pemasaran saham ini, berikut trik-triknya, dan transaksi-transaksi yang cepat di pasar modal, telah menjadi topik studi di kebanyakan perguruan tinggi.
Hanya saja, semua pasar modal yang memperdagangkan saham perusahaan (perseroan terbatas publik) tersebut, dan pasar yang seperti itu —yakni pasar yang memperdagangkan surat utang (obligasi) dari kas negara dan surat utang perusa- haan— sesungguhnya lebih rapuh daripada sarang laba-laba. Sebab, kesediaan masyarakat untuk memperdagangkan saham- nya di pasar-pasar tersebut sebenarnya didasarkan pada suatu “kepercayaan” bahwa harga berbagai saham dan surat berharga itu akan terus menerus naik. Selain itu didasarkan juga pada ketamakan untuk mendapatkan laba yang mudah diperoleh dari kenaikan harga saham. Sikap tamak mereka ini —khususnya di Barat— nampaknya tidak pernah mengenal batas, dan akan tetap ada selama matahari masih terbit dari timur.
Oleh sebab itulah, mereka bersedia membeli surat-surat berharga karena mengharapkan adanya laba. “Kepercayaan” dan ketamakan ini pula yang dipromosikan oleh para pialang saham (broker) di pasar-pasar modal tersebut. Mereka melaku- kan jual beli saham atau surat berharga sebagai perantara/wakil dari masyarakat umum, dan mengambil komisi yang besar untuk aktivitasnya ini.
Akan tetapi, “kepercayaan” tersebut suatu saat dapat goyah karena sebab-sebab yang telah diramalkan ataupun yang tidak diramalkan. Pasar menjadi goncang dan banyak pemilik saham yang pada waktu bersamaan ingin cepat-cepat menjual sahamnya dan meraup laba yang telah mereka perkirakan dari kenaikan harga saham. Semua pemilik saham ingin menjual secepat mungkin, sehingga akhirnya jatuhlah harga saham. Ini semakin memperbanyak jumlah orang yang hendak menjual sahamnya, sehingga akibatnya harga saham terus menerus merosot sampai ke titik terendah. Inilah peristiwa yang pernah terjadi pada tahun 1929, atau yang hampir terjadi tahun 1987, atau yang terus dikhawatirkan akan terjadi pada akhir tahun 1997 ini.
Seorang muslim yang sadar tentu tak perlu prihatin terhadap krisis-krisis yang menimpa Barat dan sistem kehidupannya yang kapitalistis itu. Namun dia tentu akan sangat prihatin melihat bencana yang menimpa kaum muslimin —seperti Indonesia dan Malaysia— yang telah mengekor Barat dan mengambil sistem kehidupannya serta terkecoh dengan pasar modalnya yang rapuh bak sarang laba-laba itu. Dia tentu priha- tin pula menyaksikan kaum muslimin telah membenarkan propaganda Barat, bahwa tak ada jalan lain untuk meraih ke- majuan ekonomi kecuali dengan mengikuti “sistem pasar ter- buka”, yakni liberalisasi ekonomi yang absolut —termasuk bersedia berkompetisi melawan investasi Barat baik yang langsung maupun tak langsung— serta terjun dalam “ekonomi global”, yakni bersedia membangun pabrik-pabrik milik perusahaan-perusahaan Barat di negeri-negeri Islam, dengan memanfaatkan jutaan tenaga kerjanya yang murah-meriah untuk memproduksi barang-barang konsumtif bagi pasar mereka.
Seorang muslim yang sadar juga akan sangat prihatin tatkala menyaksikan ide-ide Barat yang kapitalistis —termasuk yang berkaitan dengan pasar modal— ternyata dapat diterima oleh kaum muslimin, karena adanya serangan media massa yang sangat intensif yang terus menerus dilancarkan Amerika setelah hancurnya Komunisme. Serangan tersebut bertujuan menyebarkan ilusi kosong kepada dunia bahwa dunia tak punya alternatif lain, kecuali mengikuti ideologi Kapitalisme. Begitu pula terus mereka propagandakan bahwa dewasa ini adalah masa keemasan ideologi Kapitalisme.
Padahal, goncangan dahsyat pada pasar-pasar modal raksasa di Barat itu sebenarnya telah menunjukkan kerapuhan pasar modal —yang bagaikan sarang laba-laba itu— dan telah menampakkan cacat-cela sistem ekonomi kapitalis. Terbong- kar juga bahwa kemilaunya kehidupan mereka itu bukanlah kemilau emas yang sejati, melainkan hanyalah kemilau tipuan. Sebab, ide ekonomi kapitalis pada hakikatnya adalah ide yang bersandar pada kemaslahatan belaka. Ide tersebut terbukti telah memerosotkan manusia ke derajat yang paling nista, karena ide itu bertumpu pada dorongan-dorongan naluriah paling rendah pada manusia. Fakta berbagai masyarakat yang menerapkan ide tersebut menunjukkan, bahwa mereka adalah komunitas yang selalu rakus dalam hidup, tidak pernah puas terhadap produk- produk yang mereka hasilkan, serta tak pernah puas pula ter- hadap perilaku konsumtif mereka. Mereka tidak pernah meng- hiraukan nilai-nilai kehidupan apa pun selain nilai kehidupan yang materialistis. Di Barat, golongan minoritas dari kalangan pemilik modallah yang menguasai mayoritas masyarakat yang harus bekerja dengan susah payah dan hidup dalam keresahan. Banyak dari mereka ini adalah orang-orang gelandangan mela- rat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan primernya.
Kendatipun demikian, kaum muslimin tidak boleh hanya menunggu datangnya goncangan ekonomi yang besar di pasar- pasar modal di Barat, agar mereka menyadari kondisi mereka yang telah terkecoh dengan ide-ide kapitalis dan pasar modal yang hakikatnya memang benar-benar bagaikan sarang laba- laba. Haruslah sekarang juga dijelaskan kepada mereka hakikat ide pasar modal, termasuk penjelasan mengenai kerusakannya dan penjelasan bahwa ajaran Islam yang lurus telah meng- haramkan dan tidak memperbolehkan keberadaannya.
* * *
Pasar-pasar modal di Barat tak akan benar-benar eksis, hidup, dan berkembang, kecuali dengan adanya tiga sistem pokok dalam sistem perekonomian kapitalis :
1. Sistem Perseroan Terbatas.
2. Sistem Perbankan Ribawi.
3. Sistem Uang Kertas Inkonvertibel (flat money).
Ketiga sistem tersebut bekerja secara sinergis untuk membagi perekonomian kapitalis menjadi dua sektor, yaitu : (1) sektor riil, yang di dalamnya terdapat aspek produksi serta pemasaran barang dan jasa riil, (2) sektor ekonomi modal/kapital, yang oleh sementara orang disebut sektor non-riil. Di dalamnya terdapat aspek penerbitan dan jual-beli surat-surat berharga yang beraneka ragam. Surat-surat berharga ini haki- katnya adalah transaksi-transaksi yang bersifat mengikat, atau akte-akte dan sertifikat-sertifikat, yang mewakili hak-hak yang dapat dialihkan secara sepihak, dengan cara menjual atau membelinya, yang berkenaan dengan kepemilikan perusahaan, utang perusahaan atau utang pemerintah, atau mengenai harta-harta tak bergerak, dan banyak “hak-hak” lain yang telah ditetapkan oleh surat-surat berharga yang diedarkan. Hak-hak lain ini misalnya adanya pilihan sementara untuk membeli atau men- jual hak orang lain dengan harga tertentu yang berbeda dengan harga yang sedang berlaku. Semua ini termasuk hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan sektor ekonomi riil. Per- kembangan sektor non-riil ini telah sedemikian jauhnya, sampai-sampai nilai muamalah pada sektor tersebut besarnya berlipat ganda dari nilai sektor riil.
Mengenai sistem perseroan terbatas (public limited com- pany/PT Publik), pada awalnya sistem ini muncul agar para pemilik modal dan pengelola perusahaan dapat melindungi aset mereka yang besar dari orang-orang yang meminjamkan modalnya (kreditor) dan pemilik hak lainnya dalam usaha- usaha mereka, seandainya perusahaan mengalami kegagalan. Sistem ini juga dibuat agar para pemodal dan pengelola perusahaan dapat menguasai dana masyarakat dalam usaha-usaha mereka.
Sistemnya memang demikian, karena ada sifat yang unik pada perusahaan terbatas, yaitu tanggung jawab yang terbatas. Jadi kalau misalnya usahanya gagal dan merugi, maka para pemilik hak pada perusahaan itu tidak dapat mengajukan klaim apa pun kepada para peseronya (pemegang saham), berapa pun jumlah modal yang mereka setorkan. Mereka tidak berhak mendapatkan apa pun kecuali aset perusahaan yang tersisa.
Menurut kebiasaan yang berlaku di Barat, perusahaan dimunculkan dan diumumkan oleh pemerintah, bukan oleh para pendirinya. Jadi pemerintahlah yang mengeluarkan akte pendiriannya, menentukan tujuan-tujuannya dan jumlah saham yang boleh diedarkan, serta mempublikasikan anggaran dasarnya. Oleh karena itu, perusahaan merupakan suatu badan hukum yang berdiri sendiri secara penuh dan terlepas dari para peseronya. Konsekuensinya, pemilik hak hanya dapat mengajukan tuntutan kepada perusahaan dan tidak dapat menuntut para peseronya sedikit pun. Dengan demikian, tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada aset perusahaan yang tersisa, bukan pada aset yang dimiliki oleh para peseronya.
Pada saat pemerintah mengeluarkan akte pendirian peru- sahaan, pemerintah menetapkan suatu dewan komisaris sementara dari kalangan pendirinya, yaitu orang-orang yang mengajukan permohonan pendirian perusahaan. Kemudian, dewan komisaris tersebut mengangkat seorang direktur perusahaan, dan mulailah perusahaan “menjual” saham-sahamnya, yakni sejumlah dokumen yang merupakan sertifikat-sertifikat surat berharga yang dapat dialihkan. Pembawa saham ini memiliki hak-hak tertentu dan terbatas, yaitu mendapat bagian tertentu dari laba yang dibagikan oleh perusahaan (dividen), mendapat bagian tertentu dari harta perusahaan jika perusahaan bubar (dilikuidasi), dan mempunyai hak suara sekali setahun untuk mengangkat dewan komisaris yang baru. Akan tetapi seluruh hak-hak ini didasarkan pada saham, bukan pada orang yang menjadi pesero. Pada saat pemungutan suara untuk memilih dewan komisaris, misalnya, suara yang menentukan didasarkan pada jumlah saham, bukan pada jumlah orang. Jadi kalau ada satu orang yang memiliki 51 % saham yang diedarkan, dan jumlah para pesero lainnya yang memiliki saham sisanya mencapai 100 ribu orang, maka hakikatnya orang pertama tadi- lah yang memilih dewan komisaris sendirian. Suara dari 100 ribu orang lainnya tidak ada nilainya.
Dalam banyak hal, para pemodal tidak perlu sampai memiliki 50 % saham suatu perusahaan agar mereka dapat mengontrol perusahaan tersebut. Bahkan kadang-kadang cukup memiliki 5 % atau 10 % saham saja, karena tersebarnya mayoritas pesero yang memiliki saham sedikit, atau karena adanya kerjasama di antara sesama pesero besar yang minoritas untuk memilih dewan komisaris, sehingga selanjutnya mereka dapat mengontrol semua modal para pesero dan mengendalikan semua kegiatan perusahaan.
Kenyataan tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat umum. Dengan adanya kenyataan ini, maka mayoritas pesero tidak dapat lagi mengelola modalnya dalam perusahaan. Mereka hanya dapat mengalihkan saham mereka —dengan menjual atau membelinya— di pasar modal. Akibatnya, mereka tidak lagi menjadi rekanan perusahaan, tetapi hanya sekedar pemegang surat-surat berharga perusahaan, yang dapat dijual dan dibeli pada pasar modal tanpa perlu izin kepada perusa- haan atau para pesero.
Demikian pula, pasar modal memungkinkan para pesero besar untuk menjual saham mereka kepada perusahaan yang mereka kontrol, tanpa perlu minta izin atau memberitahu siapa pun, sehingga mereka dapat berlepas diri dari tanggung jawab apa pun mengenai kegiatan-kegiatan perusahaan yang mereka kuasai dan mereka kendalikan. Begitu pula tatkala mereka ber- hasrat untuk membeli saham lebih banyak lagi —baik saham perusahaan mereka sendiri maupun perusahaan lainnya— mereka pun tidak perlu minta izin kepada siapa pun. Motivasi yang mendorong mereka untuk membeli atau menjual saham ini tiada lain ialah mendapatkan laba dengan cepat. Jika harga saham perusahaan yang mereka kuasai naik, mereka menjual semua atau sebagian saham mereka. Lalu jika harganya turun, mereka kembali membelinya.
Dengan demikian, mereka sebenarnya tidak punya loyalitas sedikit pun terhadap perusahaan, para pesero lainnya, kegiatan perusahaan, dan para pegawai perusahaan. Bahkan dapat dikatakan, keinginan para pemilik modal untuk mengendalikan suatu perusahaan —dengan cara menguasai dewan komisaris- nya— sebenarnya hanya ingin mempengaruhi kegiatan-kegiatan perusahaan sedemikian rupa, sehingga mengakibatkan kenaikan harga sahamnya.
Semua ini mengakibatkan terpisahnya pasar modal (saham dan surat berharga/sekuritas lainnya) dari sektor ekonomi riil, yaitu fakta perusahaan yang memperdagangkan saham- sahamnya. Bukti lain untuk itu adalah adanya nilai PER (Price Earning Ratio) yang selalu dimonitor oleh para pedagang saham di pasar modal, yang dianggap sebagai standar untuk mengukur tinggi-rendahnya harga saham perusahaan tertentu. Nilai PER tersebut adalah perbandingan antara harga saham perusahaan saat sekarang, dengan besarnya dividen untuk satu saham yang dibagikan perusahaan pertahun. Sebagai contoh, jika dividen untuk satu saham bernilai US $ 2 dolar, sedang harga saham di pasar modal sebesar US $ 40 dolar, berarti nilai PER-nya 20 %. Dengan kata lain, laba perusahaan adalah 5 % dari harga sahamnya.
Koran-koran setiap hari mempublikasikan nilai-nilai PER seluruh perusahaan yang memperdagangkan sahamnya. Dan dengan mempelajari nilai-nilai PER tersebut, nampak bahwa dalam banyak kasus terdapat perbedaan sangat besar antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Kadang-kadang beberapa perusahaan nilainya mencapai 100 %, sedang pada beberapa perusahaan lainnya hanya 5 %.
Kenyataan ini membuktikan terpisahnya hubungan antara pasar modal dengan sektor ekonomi riil dan fakta perusahaan. Maka pasar modal pun akhirnya berubah menjadi kasino besar untuk ajang perjudian. Artinya, spekulasi telah mendominasi pasar modal dan fluktuasi harga yang sangat ekstrem dan berulang telah menjadi watak dari pasar modal tersebut. Inilah fakta sistem perseroan terbatas.
Adapun sistem perbankan ribawi (usurious banking system), sebenarnya merupakan biang bencana dalam sistem ekonomi kapitalis. Sebab, bank telah diberi hak untuk menghimpun dana dari masyarakat (yang disebut simpanan), mengelola simpanan tersebut seolah-olah merupakan milik bank sendiri dan bukan milik para penyimpan, serta mendistribusikan dana tersebut dengan cara mengkreditkannya kepada para investor dan pengusaha —termasuk para pedagang saham di pasar modal serta para penyimpan sendiri— dengan memungut riba yang telah diperhitungkan untuk setiap kredit (pinjaman).
Namun pendistribusian dana masyarakat tersebut sesungguhnya tidak bersifat netral. Sebab para pemilik bank —mayoritasnya adalah para investor dan grup perusahaan mereka sendiri— mendapat prioritas utama untuk memperoleh kredit bank dengan suku bunga rendah, dan baru kemudian menyusul para investor dan pengusaha lainnya. Alasan bank melakukan hal ini, karena pengembalian utang mereka ini tidak mengandung resiko. Prioritas berikutnya adalah para pengusaha kecil, lalu menyusul para konsumen dari kalangan masyarakat umum.
Bukti paling nyata adanya pembeda-bedaan dalam pem- berian kredit ini adalah adanya perbedaan suku bunga, yang kini di Amerika berselang antara 8,5 % —pada kredit bagi para investor dan perusahaan raksasa— sampai dengan 20 % pada kredit untuk pembelian sebuah mobil.
Ringkasnya, sistem ribawi ini secara alamiah akan mem- buat dana masyarakat hanya berputar pada kalangan terbatas yang sedikit jumlahnya.
Peran bank dalam pasar modal lebih berbahaya daripada perannya dalam sektor riil, sebab bank meminjami para pedagang saham dana yang besarnya berlipat ganda dari dana yang dimilikinya sendiri. Misalnya, sebuah saham dengan harga US $ 100 dolar di pasar modal, dapat dibeli dengan dana US $ 5 dolar dari pembeli saham dan US $ 95 dolar dari pinjaman bank, atau dari para pialang saham, yang pada gilirannya juga meminjam dari bank. Ini berarti, pedagang saham tersebut dapat membeli saham di pasar modal yang jumlahnya mencapai dua puluh kali lipat dari jumlah yang dapat dia beli dengan dananya sendiri. Akan tetapi bank tidak akan meminjamkan dana berlipat ganda itu kecuali kepada para investor besar. Artinya, para invetor besar sajalah yang mampu melipatganda- kan kekuatan mereka di pasar modal karena bantuan bank. Hanya merekalah yang dapat melipatgandakan kemampuan mereka untuk mempengaruhi dan merekayasa pasar untuk menaikkan atau menurunkan harga saham. Akhirnya hanya merekalah yang dapat mengembangkan harta kekayaan dengan mengorbankan masyarakat umum, para penabung, dan para pedagang saham lainnya.
Dan mengingat sebagian besar saham yang dibeli adalah dana utang dalam jumlah besar, maka jatuhnya harga saham dalam banyak kasus akan semakin memerosotkan harga saham tersebut. Misalnya, sebuah bank bersedia meminjami seorang pedagang saham 90 % dari nilai saham yang hendak dia beli. Lalu orang itu membeli saham seharga 1 juta dolar. Berarti utangnya dari bank sebesar 900 ribu dolar. Kemudian katakan- lah harga-harga saham turun 20 %. Maka nilai sahamnya men- jadi 800 ribu dolar, dan pinjaman yang diizinkan baginya men- jadi 90 % dari 800 ribu dolar tadi, atau sebesar 720 ribu dolar. Jadi dia harus segera mengembalikan ke bank sebesar 180 ribu dolar dari pinjamannya, agar persentase pinjamannya tetap 90 % dari nilai sahamnya. Jika dia cukup mempunyai dana untuk melunasi pinjamannya itu, maka dia tak perlu menjual sahamnya. Tapi jika dia tak cukup mempunyai dana, dia akan terpaksa menjual sahamnya dengan segera untuk melunasi pinja- mannya kepada bank. Tindakan ini akan meningkatkan pena- waran saham, sehingga akan semakin memerosotkan harga saham. Jika sejumlah pedagang saham berada dalam kondisi seperti ini, maka akan terjadi kemerosotan harga saham yang beruntun dan boleh jadi akan mengakibatkan kegoncangan pasar.
Atas dasar itu, peran sistem bank ribawi di pasar modal sebenarnya bergantian antara menaikkan dengan menurunkan volume perdagangan dan harga saham. Dalam kondisi meningkatnya harga saham-saham tertentu, bank menyediakan dana besar sebagai pinjaman kepada para pedagang saham, yang akan melipatgandakan dana yang mereka miliki sendiri. Mereka akan membeli lebih banyak saham, sehingga akan semakin melonjakkan harga saham secara tajam. Akan tetapi kadang- kadang kondisi ini dapat berubah dengan cepat, sehingga harga saham tertentu akan turun karena satu alasan tertentu, seperti adanya isu dan kegagalan suatu proyek. Bank kemudian akan mengurangi pinjamannya untuk menurunkan nilai saham yang dijamin atas pinjamannya, sehingga para pedagang saham akan menjual sebagian atau seluruh sahamnya. Ini akan memper- cepat anjoknya harga saham secara drastis, yang pada giliran- nya akan membuat bank makin mengurangi pinjaman-pinja- mannya, agar turunnya harga saham dapat terus berlanjut.
Lalu dari mana bank-bank memperoleh semua dana ini dan kemana saja dana itu pergi ketika bank mengurangi pinjamannya ? Jawabnya, dana-dana itu mula-mula berasal dari para penyimpan. Sebab bank dalam sistem bank ribawi bersandar pada satu harapan bahwa masyarakat akan menyimpan sebagian besar dananya di bank. Bank-bank juga bersandar pada harapan bahwa sebagian besar dana yang ditarik dari satu rekening di bank, akan dapat ditalangi oleh rekening lain di bank itu sendiri atau di bank lain. Dengan demikian, sebagian besar dana tetap tersimpan di bank. Dana yang dipinjamkan oleh bank itu sebenarnya tidak berasal dari kas bank itu sendiri, melainkan dari rekening yang telah dibuat bank, dengan cara membuka dua rekening untuk pihak peminjam : satu untuk pinjaman yang harus dia lunasi (utang), dan satu lagi berupa rekening simpanan dengan jumlah dana yang dihasilkan dari utangnya tersebut, agar peminjam dapat menarik berapa saja dananya dari rekening ini. Tapi kalau misalnya sebagian besar penyimpan dan peminjam menarik simpanan mereka secara tunai dalam waktu bersamaan, niscaya bank tidak akan mampu menyediakan dana. Sebab, sebagian besar simpanan tersebut telah berubah menjadi pinjaman-pinjaman, yang mungkin saja macet atau ada di bank lain sehingga tidak mungkin tersedia dalam waktu singkat. Dalam keadaan seperti ini, pada umum- nya bank akan dilikuidasi dan mengakhiri usahanya.
Sistem bank ribawi sesungguhnya didasarkan pada “kepercayaan” terhadap bank dan “kepercayaan” bahwa simpanan masyarakat di bank berada dalam keadaan aman. Artinya masyarakat dimungkinkan untuk menarik semua simpanan mereka kapan saja. Padahal, semua kepercayaan itu hanyalah tipu daya yang tidak sesuai dengan kenyataan bank sesungguhnya. Tipu daya ini seringkali terbongkar di Barat —dan di bagian dunia lainnya— tatkala para penyimpan gagal memperoleh simpanannya dan kehilangan sebagian besar hartanya pada saat bank ditutup atau dinyatakan bangkrut. Karenanya, Barat lalu membuat sistem uang kertas yang inkonvertibel/tak dapat ditukarkan (inconvertible paper money), dan menetapkan pengawasannya di bawah sebuah bank sentral untuk seluruh bank di suatu negara.
Semua ini adalah usaha untuk menutup-nutupi cacat sistem bank ribawi yang didasarkan pada tipu daya, serta untuk mencegah keruntuhan bank dan menjaga “kepercayaan” masyarakat terhadap sistem ekonomi kapitalis.
Sistem uang kertas tersebut memberikan kewenangan kepada bank sentral untuk menerbitkan uang yang akan diedarkan di suatu negara dalam bentuk kertas tercetak yang tidak memiliki nilai intrinsik sedikit pun. Sistem tersebut juga meng- haruskan rakyat di negara itu untuk menerima uang tersebut dalam penunaian hak-haknya. Jika misalnya seseorang tidak mau menerima uang tersebut untuk pelunasan utangnya, maka undang-undang dan peradilan yang ada akan memaksanya untuk menerima, atau kalau tidak haknya akan terabaikan. Hal ini menunjukkan bahwa bank sentral berhak untuk menerbitkan uang baru sesuai kehendaknya untuk merealisasikan haluan politik negara. Misalnya, pada saat kas negara tidak lagi mempunyai persediaan dana dari pajak dan sumber-sumber lain, maka negara akan segera berpaling kepada bank sentral dan “meminjam” dana darinya, yakni bank sentral akan mencacat utang atas nama negara dan membuat satu rekening simpanan (untuk negara) yang darinya dapat ditarik dana untuk membiayai kebutuhan negara. Ini dianggap sebagai uang baru. Begitu pula kalau misalnya bank sentral memperkirakan bahwa masyarakat membutuhkan lebih banyak dana untuk pinjaman, maka bank sentral akan membeli sejumlah surat utang kas negara atau surat utang perusahaan-perusahaan, dan nilai surat- surat tersebut dicatat dalam rekening-rekening para penjualnya pada bank sentral itu sendiri atau pada bank-bank niaga. Dan ini juga dianggap uang baru.
Contoh untuk itu adalah apa yang pernah terjadi pada Oktober 1987, ketika nilai-nilai saham di New York anjlok sebesar 22 % dalam satu hari. Bank Sentral Amerika segera menerbitkan uang baru yang dapat digunakan oleh bank-bank guna mengoreksi dampak-dampak kegoncangan pasar. Bank Sentral Amerika membeli surat-surat utang senilai milyaran dolar dari perusahaan dan pada umumnya dari pasar modal. Dengan demikian, harga surat-surat itu dapat dimanfaatkan oleh bank, sehingga bank dapat meminjamkan kepada para pedagang saham dan meringankan beban mereka. Terapi ini memang berhasil —walaupun sementara— untuk menutup- nutupi cacat-cela sistem bank ribawi, kendati telah tersebar isu bahwa bank terbesar di New York —yakni City Bank— hampir saja ditutup.
Akan tetapi, penerbitan uang baru —dengan cara men- cetak uang kertas dan mencatat nilainya dalam rekening- rekening negara atau masyarakat— membutuhkan biaya sangat mahal yang mau tak mau harus dipikul masyarakat awam tanpa mereka ketahui mengapa hal itu terjadi. Karena penerbitan uang oleh bank sentral artinya adalah memperbanyak jumlah uang yang beredar, sehingga nilai uang akan turun. Karenanya, salah satu cacat cela sistem ini adalah adanya fenomena kenaikan harga barang dan jasa yang berlangsung terus menerus. Fakta kenaikan harga ini —yang disebut sebagian orang sebagai inflasi— nampak pada penurunan nilai uang masyarakat dan penurunan nilai gaji/upah beserta kualitas hidup mereka.
Namun cacat paling prinsipil dalam sistem ini adalah, semua mekanismenya didasarkan pada “permainan kepercayaan”, yaitu tipu daya bahwa uang kertas itu mempunyai nilai. Padahal uang tersebut tidak mempunyai nilai intrinsik apa pun. Meskipun demikian, undang-undang negara tetap memaksakan pemberlakuannya dan menganggapnya dapat digunakan untuk melunasi utang dan membayar hak-hak (klaim) di depan pengadilan.
Berdasarkan hal itu, kita dapat melihat bahwa pada negara yang lemah —di mana stabilitas politik dan kewibawaan- nya dapat digoncang dengan mudah— uang kertasnya akan menjadi sangat lemah, sehingga dalam banyak kasus para penguasanya akan mengurangi nilai mata uangnya terhadap mata uang lain (devaluasi). Tujuannya adalah agar mereka dapat memulai lagi “permainan kepercayaan” tadi dan berhasil menipu rakyat dalam hal nilai mata uang.
Inilah hakikat pasar modal di Barat dan di negeri-negeri lain yang mengekor dan bertaqlid kepada Barat. Pasar modal sebenarnya hanya lahan subur bagi para investor saja, meng- ingat ia tak menghasilkan komoditas apa pun yang berguna bagi masyarakat. Di samping itu para pedagang saham di sana hakikatnya tak punya motif apa pun, selain meraup laba yang besar dengan cepat dan mudah. Pasar modal lebih mirip kasino untuk ajang judi daripada aktivitas apa pun. Dia bagaikan sarang laba-laba yang begitu ringkih dan begitu mudah untuk digoncang. Dia adalah simbol keserakahan kapitalis akan nilai- nilai kehidupan yang materialistis. Seandainya saja tidak ada sistem perseroan terbatas, sistem bank ribawi, dan sistem uang kertas inkonvertibel, niscaya pasar parasit ini tak akan eksis dan bertahan hidup.
Inilah fakta pasar modal di Barat dan di negeri-negeri lain yang mengekor dan bertaqlid kepada Barat.
* * *
Adapun hukum syara’ untuk fakta pasar modal adalah sebagai berikut :
Sistem perseroan terbatas telah memberikan sifat unik kepada perusahaan, yaitu tanggung jawab terbatas, sehingga sistem ini dapat melindungi para pemilik modal dan pengelola perusahaan dari para kreditor dan pemilik hak lainnya dalam kegiatan perusahaan, jika bisnis perusahaan gagal dan merugi. Para pemilik hak tak dapat menuntut para pesero perusahaan sedikit pun, berapa pun modal yang telah mereka setorkan. Para pemilik hak hanya mendapatkan aset perusahaan yang tersisa.
Sistem ini sangat bertentangan dengan hukum-hukum syara’. Sebab hukum syara’ telah mewajibkan penunaian hak secara penuh kepada para pemiliknya tanpa boleh dikurangi sedikit pun. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW telah bersabda :
مَنْ أَخَذَ مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ يُرِيْد أَدَاءَهاَ أَدَى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
“Siapa saja yang mengambil harta orang dan ber- maksud untuk melunasinya, maka Allah akan menolongnya untuk melunasinya. Dan siapa saja yang mengambil harta orang dan bermaksud merusak nya, maka Allah akan merusak orang itu.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لَتُؤَدنَّ الحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ القِيَامَةِ حَتَى يَقْتَصَّ لِلشَاةِ الجَماَءِ مِنَ القرناءِ تنْطِحُهَا
“Sungguh hak-hak itu pasti akan ditunaikan kepada para pemiliknya pada Hari Kiamat nanti, hingga seekor domba betina tak bertanduk akan mendapat kesempatan membalas karena pernah ditanduk oleh domba betina bertanduk.”
Jelaslah, Rasulullah SAW sangat menekankan kewajiban menunaikan hak secara penuh di dunia. Dan barang siapa tidak menunaikan hak tersebut, pasti dia akan menunaikannya pada Hari Kiamat nanti. Ini merupakan peringatan kepada orang yang melalaikan hak-hak orang lain.
Rasulullah SAW juga menegaskan, bahwa tindakan orang kaya yang menunda-nunda pelunasan utangnya adalah suatu kezhaliman. Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
مَطَلُ الغَنِي ظُلْمٌ
“Perbuatan orang kaya menunda-nunda pembayaran utangnya adalah suatu kezhaliman.”
Jika menunda-nunda pembayaran utang saja sudah merupakan kezhaliman, lalu bagaimana pula kalau melalaikan hak dan tidak membayar utang ? Jelas kezhalimannya lebih besar dan azabnya lebih keras.
Rasulullah SAW telah mengkhabarkan pula bahwa sebaik-baik manusia adalah yang terbaik dalam menunaikan hak-hak orang lain. Imam Bukhari telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
…فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“…sebaik-baik orang di antara kalian, adalah yang paling baik dalam penunaian hak (pembayaran utang, dan lain-lain).”
Atas dasar itu, haram hukumnya hanya memberikan aset perusahaan yang tersisa kepada para pemilik hak setelah perusahaan merugi. Selain itu wajib hukumnya memberikan semua hak mereka dan mengembalikan dana yang mereka pinjamkan secara penuh yang diambilkan dari harta para pesero, tanpa boleh dikurangi sedikit pun.
Inilah hukum syara’ yang berkaitan dengan sistem perseroan terbatas dari segi pemberian tanggung jawab terbatas kepada perusahaan.
Adapun mengenai perseroan terbatas itu sendiri, sesungguhnya ia telah menyalahi hukum Islam mengenai perusahaan (syarikah). Ini karena perseroan terbatas mempunyai definisi :
عَقْدٌ بِمُقْتَضَاهُ يَلْتَزِمُ شَخْصَانِ أَوْ أَكْثَرْ بِأَنْ يُسَاهِمَ كُلٌّ مِنْهُمْ قِى مَشْرُوعٍ مَالِيٍ ، بِتَقْدِيْمِ حصَةٍ مِنْ مَالٍ لإقْتِسَامِ مَا قَدْ يَنْشَاُ مِنْ هَذاَ المَشْرُوعِ مِنْ رِبْحٍ أَو خَسَارَةٍ
“Akad (transaksi) di antara dua orang atau lebih di mana mereka terikat untuk ikut andil pada suatu kegiatan usaha (bisnis) dengan cara menyertakan sejumlah dana, dengan tujuan berbagi hasil dari kegiatan usaha tersebut, baik berupa laba maupun kerugian.”
Dari definisi ini, dan dari fakta pendirian perseroan terbatas, akan nampak jelas bahwa perseroan terbatas bukan merupakan akad antara dua orang atau lebih sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum syara’. Sebab, akad menurut syara’ ada- lah ijab (penyerahan/penawaran) dan kabul (penerimaan/pe- ngabulan) antara dua pihak. Artinya, harus ada dua pihak dalam sebuah akad. Pihak pertama adalah yang menyampaikan ijab, yakni mengawali akad dengan mengatakan, misalnya, “Saya menjadi rekanan Anda.” Pihak kedua adalah yang menyatakan kabul, misalnya dengan mengucapkan, “Saya terima,” atau, “Saya bersedia.” Jika dalam akad tidak terdapat dua pihak ini —yakni penyampaian ijab dan pernyataan kabul— maka akad tidak sah, dan tidak dapat dikatakan sebagai akad yang sesuai dengan syara’.
Keikutsertaan atau andil dalam sebuah perseroan hanya dilakukan dengan cara membeli saham dari perseroan itu sendiri ataupun dari orang lain yang lebih dulu membeli saham. Dalam proses keikutsertaan para pesero (pemegang saham) ini, tidak ada negosiasi atau perjanjian apa pun, baik dengan pihak perseroan maupun dengan pihak pesero lainnya. Adalah peme- rintah, yang pertama kali memunculkan sebuah perseroaan ter- batas, yakni yang membuatnya eksis dan menjadi suatu badan hukum yang terlepas dari para peseronya. Untuk ini pemerintah mengeluarkan izin pendirian perseroan.
Di antara para “pendiri” perseroan, tak terdapat kesepakatan apa pun di antara mereka selain kesepakatan mengajukan permohonan izin kepada pemerintah untuk mendirikan perseroan. Jika izin perseroan sudah keluar, maka perseroanlah yang kemudian bertindak sebagai pengelola urusan-urusannya. Pada saat itulah perseroan menjual sahamnya kepada para pendiri perseroan atau kepada pihak lain.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa dalam perseroan terbatas tak terdapat dua pihak yang melangsungkan akad, dan tak ada pula ijab-kabul. Yang ada adalah pembelian saham oleh siapa saja sehingga dengan itu dia dapat menjadi rekanan (syarik/partner). Jadi perseroan terbatas bukanlah kesepakatan antara dua pihak, melainkan kehendak pribadi seseorang yang bersifat sepihak untuk menjadi rekanan suatu perseroan. Dengan demikian, seseorang dapat menjadi rekanan perseroan dengan hanya membeli sahamnya.
Para ahli hukum di Barat menafsirkan tindakan tersebut sebagai suatu komitmen terhadap akad, walaupun hanya dari satu pihak. Tindakan ini menurut mereka termasuk salah satu pengaturan kehendak yang bersifat sepihak, di mana seseorang memegang suatu komitmen/perjanjian tertentu terhadap orang lain atau masyarakat, tanpa melihat apakah orang lain atau masyarakat itu setuju atau tidak.
Melihat kenyataan tersebut, maka akad perseroan terbatas adalah akad yang batal menurut syara’, sebab akad menurut syara’ adalah perikatan antara ijab dari salah satu pihak yang berakad, dengan kabul dari pihak lain sedemikian rupa sehingga pengaruh akad itu terwujud dalam objek akad (ma’qud ‘alaih). Akad semacam ini tidak terdapat dalam akad perseroan terbatas.
Fakta perseroan ini menyalahi fakta perusahaan (syarikah) dalam Islam, sebab definisi perusahaan dalam Islam adalah:
عَقْدٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَو أَكْثَر يَتَّفِقَانِ فِيْهِ عَلَى القِياَمِ بِعَمَلٍ مَالِيٍّ بِقَصْدِ الرِبْح
“Akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk menjalankan suatu kegiatan usaha (bisnis) dengan tujuan memperoleh keuntungan.”
Perusahaan dalam Islam merupakan akad antara dua pihak atau lebih, sehingga tidak sah bila dilakukan secara sepihak. Jadi harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam hal ini akad wajib ditujukan untuk melakukan suatu kegiatan usaha dengan tujuan memperoleh laba, sehingga tidaklah sah bila akad ditujukan hanya untuk menyetorkan modal saja. Begitu pula tidak dibenarkan bila tujuannya hanya sekedar andil dengan menjadi rekanan, sebab melakukan kegiatan usaha adalah asas akad perusahaan dalam Islam. Kegiatan usaha bisa dilaksanakan oleh semua pihak yang berakad, atau bisa juga oleh salah seorang atau sebagian pihak yang berakad, sedang pihak lainnya menyerahkan modalnya. Melaksanakan kegiatan usaha oleh pihak-pihak yang berakad —atau oleh seseorang dari mereka— adalah suatu keharusan. Ini berarti, dalam perusahaan minimal harus ada satu orang rekanan pengelola perusahaan (syarikul badan/physical partner) yang turut serta dalam akad. Dalam semua jenis perusahaan dalam Islam, selalu disyaratkan adanya rekanan pengelola ini, yang keberadaannya merupakan unsur mendasar untuk terwujudnya akad perusahaan. Jadi jika rekanan pengelola ini ada, maka akad perusahaan dikatakan sah. Dan jika tidak ada, maka akad perusahaan tidak sah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perseroan terbatas tidak memenuhi syarat-syarat yang harus ada agar akad perusahaan dapat terwujud, sebab orang-orang yang ada dalam perseroan hanyalah hanyalah rekanan dalam modal (syarikul mal) saja. Tidak ada rekanan pengelola perusahaan di dalamnya. Padahal keberadaan rekanan pengelola perusahaan merupakan syarat prinsip agar akad perusahaan dapat terwujud. Dalam perseroan terbatas, keikutsertaan dapat terwujud dengan adanya rekanan dalam modal saja, bukan dengan yang lainnya. Kemudian perseroan bekerja dan mengelola urusan-urusannya, tanpa adanya rekanan pengelola perusahaan.
Selain itu, rekanan dalam modal saja dalam suatu perusahaan sesungguhnya tidak berhak menjalankan perusahaan dan tidak berhak pula bertindak sebagai rekanan sama sekali. Yang berhak mengelola perusahaan dan bekerja dalam perusahaan hanyalah rekanan pengelola perusahaan saja, bukan pihak lainnya.
Perlu dicatat pula, keikutsertaan dalam perseroan terbatas adalah keikutsertaan modal, bukan keikutsertaan orang. Maka barang siapa memiliki modal lebih banyak, berarti dia mempunyai hak suara lebih besar. Dan barang siapa mempunyai saham lebih sedikit, berarti dia mempunyai hak suara lebih sedikit.
Kemudian, perseroan terbatas menurut kebiasaan mereka merupakan suatu badan hukum yang berhak mengelola urusan- urusannya. Padahal pengelolaan urusan (tasharruf) menurut syara’ tidak dianggap sah kecuali jika dilakukan oleh seorang manusia yang berkecakapan mengelola urusan. Dan setiap pengelolaan urusan yang tidak dilakukan menurut ketentuan tersebut, adalah tidak sah dalam pandangan syara’. Maka menyerahkan pengelolaan urusan kepada suatu badan hukum tidak dapat dibenarkan. Yang benar, pengelolaan urusan harus diserahkan kepada manusia yang berkecakapan mengelola. Oleh karena itu, perseroan terbatas menurut syara’ tidak sah. Inilah penjelasan yang berkaitan dengan perseroan terbatas.
Mengenai saham-saham perseroan terbatas, sebenarnya saham-saham tersebut merupakan surat-surat berharga yang mewakili sejumlah dana dalam perseroan, pada saat pembelian atau penilaian saham. Saham tidak mewakili jumlah modal perseroan saat pendirian perseroan. Jadi, saham sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah institusi perseroan. Dengan kata lain, saham sebetulnya bukan bagian dari modal perseroan. Dan nilai saham tidaklah tunggal atau tidak bersifat tetap. Nilainya senantiasa berubah-ubah mengikuti laba ruginya perseroan. Nilainya tidak bersifat tetap untuk setiap waktu, tetapi selalu berubah-ubah secara terus menerus.
Hukum bermuamalah dengan saham-saham tersebut dan juga surat-surat utang (obligasi) —baik menjualnya maupun membelinya— adalah haram. Sebab, saham-saham itu adalah saham dari perseroan terbatas yang batal menurut syara’. Saham-saham tersebut merupakan surat-surat berharga yang mewakili sejumlah dana yang bercampur aduk antara modal yang halal dengan laba yang haram, pada suatu akad yang batal dan muamalah yang batal. Setiap surat berharga mewakili nilai dari bagian tertentu dari aset perseroan yang batal, di mana aset ini pun telah tercampuri oleh muamalah batal yang dilarang oleh syara’. Maka, saham merupakan harta yang haram, tidak dibenarkan memperjualbelikannya, dan tidak dibenarkan pula bermuamalah dengannya.
Begitu pula dengan surat-surat utang (obligasi) —yang merupakan sarana investasi modal dengan memperoleh imbalan riba— dan saham-saham bank serta yang dapat disamakan dengan itu. Semuanya mewakili sejumlah dana yang haram. Karena itu, memperjualbelikannya adalah haram, karena dana yang terwakili adalah dana haram.
Demikianlah penjelasan tentang perseroan terbatas, peraturannya, dan sahamnya. Sedang mengenai riba itu sendiri —yang merupakan biang bencana dalam sistem ekonomi kapitalis dan sistem lainnya— maka Islam telah mengharamkan- nya secara mutlak, berapa pun persentasenya, kecil atau besar. Harta riba pasti adalah harta haram. Tak ada hak bagi siapa pun untuk memilikinya, dan wajib dikembalikan kepada pemilik- nya, jika orang-orangnya diketahui.
Dikarenakan kekejian riba inilah, Allah SWT menyifati para pemakan/pengambil riba sebagai orang-orang yang kerasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Allah SWT ber- firman :
الَّذِيْنَ يَاْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُومُوْنَ إلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالوُا إِنَّمَا البَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا “AR-SA”> فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إلَى اللهِ وَمَنْ عَادَ فأولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ
“Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan- nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan) dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba) maka mereka itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalam- nya.” (QS. Al Baqarah : 275)
Dan karena dahsyatnya keharaman riba inilah, maka Allah SWT mengumumkan perang terhadap para pemakan riba. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرّباَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ . فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ
>رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلمُوْن وَلاَ تُظْلَمُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah ke- pada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian (memang) orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagi kalian pokok harta kalian. Kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (QS. Al Baqarah : 278-279)
Mengenai sistem uang kertas inkorvetibel, penjelasannya sebagai berikut :
Uang adalah standar yang disepakati masyarakat sebagai harga bagi barang dan upah/gaji bagi jasa. Uang dapat berupa logam ataupun bukan logam. Dengan uang itu masyarakat menstandardisasi seluruh barang dan jasa.
Uang dengan standar logam mulia (emas dan perak) merupakan sistem yang digunakan secara luas sebelum Islam. Ketika Islam datang, Rasulullah SAW membenarkan umatnya bermuamalah dengan dinar dan dirham —yakni standar logam mulia— dan menetapkannya sebagai satu-satunya standar uang yang dipakai untuk menilai harga barang dan jasa.
Seluruh dunia terus menggunakan standar emas dan perak itu sebagai mata uang sampai beberapa saat sebelum Perang Dunia I, ketika penggunaan standar tersebut dihentikan. Seusai Perang Dunia I, standar emas dan perak kembali diberlakukan secara parsial. Kemudian penggunaannya semakin berkurang dan pada tanggal 15 Juli 1971 standar tersebut secara resmi dihapus, saat dibatalkannya sistem Bretton Woods yang menetapkan bahwa dolar harus ditopang dengan jaminan emas dan mempunyai harga yang tetap. Dengan demikian, sistem uang yang berlaku adalah sistem uang kertas inkonvertibel, yang tidak ditopang jaminan emas dan perak, tidak mewakili emas dan perak, dan tidak pula mempunyai nilai intrinsik. Nilai pada uang kertas tersebut hanya bersumber dari undang-undang yang memaksakan penggunaannya sebagai alat pembayaran yang sah.
Negara-negara penjajah telah memanfaatkan uang tersebut sebagai salah satu alat penjajahan. Mereka mempermain- mainkan mata uang dunia sesuai dengan kepentingan-kepentingannya dan membangkitkan goncangan-goncangan moneter serta krisis-krisis ekonomi. Mereka juga memperbanyak penerbitan uang kertas inkonvertibel tersebut, sehingga berkecamuklah inflasi yang menggila, yang akhirnya menurunkan daya beli pada uang tersebut. Inilah salah satu faktor yang menimbulkan kegoncangan pasar modal.
Sesungguhnya terjadinya goncangan-goncangan pasar modal di Barat dan di bagian dunia lain itu telah menelanjangi kebobrokan sistem ekonomi kapitalis, sistem perseroan terbatas, sistem bank ribawi, dan sistem uang kertas inkonvertibel. Goncangan-goncangan tersebut juga menunjukan bahwa tidak ada jalan lain bagi dunia untuk keluar dari kerusakan sistem ekonomi kapitalis dan goncangan pasar modal tersebut, selama sistem-sistem itu masih tetap ada.
Maka yang dapat membebaskan dunia dari kebusukan semua sistem tersebut adalah dengan menghapus secara total sistem ekonomi kapitalis yang rusak, menghapus sistem perseroan terbatas (atau dengan cara mengubahnya menjadi perusahaan yang Islami), menghapus sistem bank ribawi (termasuk menghapus riba itu sendiri), serta menghapus sistem uang kertas inkonvertibel dan kembali kepada standar emas dan perak.
Jika semua langkah ini ditempuh, niscaya tak ada lagi inflasi moneter, kredit-kredit bank dengan riba, dan spekulasi- spekulasi yang menyebabkan kegoncangan pasar modal. Akan lenyap pula kebutuhan akan bank-bank ribawi.
Dengan demikian, stabilitas ekonomi dunia akan ter- wujud, krisis-krisis moneter akan lenyap, dan tak ada lagi ala- san untuk menjustifikasi keberadaan pasar modal. Krisis-krisis ekonomi pun akan berakhir.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Sayyidina Muhammad SAW, keluarganya, para shahabatnya, dan siapa saja yang mengikutinya dengan baik hingga Hari Kiamat nanti. [ Dikeluarkan dan disebarluaskan oleh Hizbut Tahrir, Rajab 1418 H/Nop. 1997 M)
0 komentar:
Posting Komentar